
Table of Contents [hide]
- 1 Waktu Larangan Kemasan Plastik, Gue Langsung Panik
- 1.1 Kenapa Sih Sampai Harus Ada Larangan Kemasan Plastik?
- 1.2 Gue Nggak Sendirian: Banyak yang Kaget Sama Larangan Ini
- 1.3 Perjalanan Gue Menyesuaikan Diri Tanpa Plastik
- 1.4 ✅ 1. Tas Lipat di Tas Harian
- 1.5 ✅ 2. Bawa Wadah Sendiri
- 1.6 ✅ 3. Simpan Kertas Koran & Kertas Nasi
- 1.7 ✅ 4. Beli di Warung yang Support Eco
- 1.8 Apa Sih Sebenarnya yang Dilarang dan Gimana Aturannya?
- 1.9 Yang Awalnya Berat, Lama-lama Jadi Gaya Hidup
- 1.10 Mitos dan Fakta Seputar Larangan Kemasan Plastik
- 1.11 ❌ “Plastik bisa didaur ulang kok, kenapa harus dilarang?”
- 1.12 ❌ “Pelarangan plastik bikin UMKM rugi”
- 1.13 ❌ “Bumi kita udah terlanjur rusak, gak bakal bisa berubah”
- 1.14 Apa yang Bisa Kita Lakukan Mulai Sekarang?
- 1.15 Penutup: Plastik Itu Nyaman, Tapi Bumi Itu Rumah
- 1.16 About The Author
Larangan Kemasan Plastik, gue masih inget hari pertama aturan itu mulai jalan. Gue belanja mingguan ke supermarket langganan. Troli udah penuh: sayur, sabun, snack, ayam beku, dan… gue lupa bawa tas belanja sendiri.
Pas di kasir, mbaknya senyum dan bilang, “Maaf, kami udah gak sedia kantong plastik, Kak.”
Gue melongo. “Terus ini semua saya bawa pakai apa?”
Dia tunjukin tas belanja serat alami yang dijual seharga 10 ribu. Dengan berat hati gue beli, tapi yang bikin malu… barang belanjaan gue nggak muat semua. Akhirnya gue keluar supermarket sambil nenteng sabun dan mi instan kayak abis numpang belanja di rumah tetangga.
Gue kesel. Tapi bukan karena tasnya mahal. Tapi karena gue gak siap.
Waktu Larangan Kemasan Plastik, Gue Langsung Panik
Kenapa Sih Sampai Harus Ada Larangan Kemasan Plastik?
Karena kita, sadar atau enggak, udah kecanduan plastik.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bilang, Indonesia menghasilkan lebih dari 60 juta ton sampah tiap tahun, dan hampir 40% di antaranya adalah sampah plastik.
Yang lebih miris:
Plastik cuma dipakai 10–15 menit, tapi bisa ngendap ratusan tahun di alam.
Banyak plastik akhirnya nyangkut di sungai, laut, atau perut hewan.
Mikroplastik udah ditemukan di garam dapur, air kemasan, bahkan dalam darah manusia.
Dan faktanya, Larangan Kemasan Plastik sekali pakai jadi penyumbang terbesar. Kantong belanja, bungkus makanan, bubble wrap… semua itu akhirnya jadi jejak kita di bumi.
Gue Nggak Sendirian: Banyak yang Kaget Sama Larangan Ini
Setelah insiden tas belanja itu, gue ngobrol sama beberapa teman dan ibu-ibu tetangga.
Ada yang bilang:
“Saya jadi males belanja, ribet harus bawa-bawa tas sendiri.”
Ada juga yang cerita:
“Sekarang beli gorengan gak dikasih plastik kecil. Jadi dibungkus kertas minyak. Basah semua…”
Jujur aja, transisi ini bikin shock. Karena kita udah terlalu nyaman dengan Larangan Kemasan Plastik yang praktis.
Tapi perlahan, gue mulai mikir: praktis buat siapa? Buat kita? Iya. Tapi buat bumi? Enggak sama sekali.
Perjalanan Gue Menyesuaikan Diri Tanpa Plastik
Setelah kejadian itu, gue mulai nyiapin strategi biar gak kejebak lagi. Ini hal-hal kecil yang ternyata berdampak besar:
✅ 1. Tas Lipat di Tas Harian
Gue beli totebag lipat seharga Rp12.000. Ringan banget, muat di kantong kecil tas. Sekarang jadi penyelamat tiap belanja dadakan.
✅ 2. Bawa Wadah Sendiri
Awalnya malu sih bawa kotak makan ke warteg. Tapi ternyata banyak yang justru salut. Bonusnya, lauknya kadang dikasih lebih banyak. 😁
✅ 3. Simpan Kertas Koran & Kertas Nasi
Kalau beli gorengan, gue kasih kertas sendiri buat bungkus. Lebih bersih, dan gak nyampah plastik kecil.
✅ 4. Beli di Warung yang Support Eco
Sekarang banyak warung dan toko bulk store yang kasih diskon buat pembeli yang bawa wadah sendiri. Worth it banget.
Apa Sih Sebenarnya yang Dilarang dan Gimana Aturannya?
Larangan kemasan plastik ini sebenernya bertahap dan udah dimulai sejak 2020 di beberapa daerah.
Contohnya:
DKI Jakarta: larangan kantong plastik di semua retail modern dan pasar tradisional.
Bali: larang penggunaan kantong plastik, sedotan, dan styrofoam.
Bandung, Bogor, Bekasi juga udah punya peraturan daerah terkait.
Yang dilarang umumnya:
Kantong plastik sekali pakai
Sedotan plastik
Styrofoam untuk makanan/minuman
Tapi bukan berarti plastik hilang total. Yang ditekankan adalah mengurangi penggunaan sekali pakai. Fokusnya adalah mengedukasi, bukan menghukum dikutip dari laman artikel resmi detik.
Yang Awalnya Berat, Lama-lama Jadi Gaya Hidup
Gue perhatiin, setelah 3–4 bulan beradaptasi, yang awalnya rempong jadi rutinitas. Bahkan:
Gue jadi jarang beli makanan kemasan.
Lebih sering masak di rumah.
Bawa botol minum ke mana-mana.
Belanja sayur langsung ke pasar dan bawa keranjang.
Dampaknya? Selain mengurangi sampah, pengeluaran bulanan gue juga berkurang.
Dan gue merasa lebih “in control.” Lebih sadar dengan apa yang gue konsumsi, bawa, dan buang.
Mitos dan Fakta Seputar Larangan Kemasan Plastik
❌ “Plastik bisa didaur ulang kok, kenapa harus dilarang?”
✅ Iya, tapi kenyataannya hanya sekitar 9% plastik yang benar-benar berhasil didaur ulang. Sisanya? Tertimbun atau terbuang ke alam.
❌ “Pelarangan plastik bikin UMKM rugi”
✅ Justru banyak UMKM yang mulai inovatif. Bungkus dari daun pisang, kardus kecil, hingga packaging berbasis pati singkong. Kreativitas tumbuh karena keterbatasan.
❌ “Bumi kita udah terlanjur rusak, gak bakal bisa berubah”
✅ Salah besar. Perubahan kecil, kalau dilakukan berjuta orang, bisa bikin perbedaan. Selama kita masih hidup, masih ada harapan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan Mulai Sekarang?
Kalau lo mulai merasa terganggu dengan larangan ini, cobain dulu beberapa hal ini:
Sedia tas belanja di motor/mobil/tas kerja
Bawa wadah & botol minum sendiri
Beli produk dari brand ramah lingkungan
Kurangi makanan Larangan Kemasan Plastik dan bungkus berlapis
Edukasi orang rumah & anak-anak
Gue percaya, ini bukan soal aturan pemerintah. Tapi soal tanggung jawab bareng-bareng.
Penutup: Plastik Itu Nyaman, Tapi Bumi Itu Rumah
Gue ngerti banget: plastik itu praktis. Tapi kenyamanan jangka pendek gak sebanding sama kerusakan jangka panjang.
Larangan kemasan plastik bukan tentang bikin repot, tapi tentang bikin sadar. Sadar kalau kita udah terlalu lama nyampah, terlalu cuek, dan terlalu malas berubah.
Sekarang saatnya balik arah. Pelan-pelan. Gak harus ekstrem. Tapi konsisten. Karena kalau bukan kita, siapa lagi?
Baca Juga Artikel dari: Bahaya Kesombongan: Pribadi, Kejatuhan yang Menyakitkan
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Information