DreadOut

Pada tahun 2014, industri video game Indonesia mencatat sejarah baru. Bukan dari studio besar raksasa, melainkan dari sebuah tim kecil di Bandung bernama Digital Happiness. Mereka meluncurkan DreadOut, sebuah game horor survival yang dengan cepat melampaui batas geografisnya dan menjadi sensasi global. DreadOut tidak hanya menyajikan ketakutan konvensional; ia menawarkan perpaduan unik antara mekanika permainan klasik, narasi mencekam, dan yang paling penting, entitas horor yang bersumber langsung dari mitologi dan cerita rakyat Indonesia.

Dari Indie Hingga Internasional: Kisah Sukses Digital Happiness

10 Tahun Game DreadOut, Pengembang Siap Rilis Versi Game Konsol | tempo.co

Kisah DreadOut adalah kisah David melawan Goliath. Dikembangkan sebagai proyek indie, game ini berhasil menarik perhatian dunia melalui platform distribusi digital Steam dan, yang paling krusial, melalui dukungan crowdsourcing di Indiegogo. Para penggemar game horor, baik lokal maupun internasional, percaya pada visi Digital Happiness dan berhasil melampaui target pendanaan awal mereka Wikipedia.

Namun, momen terbesar yang melambungkan DreadOut ke panggung dunia adalah ulasan dari YouTuber kenamaan, PewDiePie. Reaksi ketakutan dan rasa penasarannya yang tulus saat memainkan game ini membuat jutaan penonton di seluruh dunia ikut penasaran. Secara instan, DreadOut menjadi pembicaraan, membuktikan bahwa kualitas dan orisinalitas dapat mengatasi keterbatasan anggaran pemasaran. Kesuksesan ini membuka jalan bagi adaptasi layar lebar dan sekuel, DreadOut 2, semakin memperkuat posisinya sebagai pionir game horor Indonesia.

Mekanika Kunci: Kamera Ponsel Melawan Arwah

Inti dari gameplay DreadOut terletak pada protagonisnya, Linda Meilinda, seorang siswi SMA yang memiliki kemampuan supranatural. Linda harus menjelajahi sebuah kota tua yang misterius dan sekolah terbengkalai, yang ternyata adalah pintu gerbang ke dunia roh. Berbeda dengan banyak game survival horor di mana pemain dipersenjatai dengan senjata api, Linda hanya memiliki satu alat pertahanan: ponsel pintar dan, pada beberapa momen penting, kamera SLR kuno.

Mekanika ini mengambil inspirasi dari seri game horor klasik Jepang, Fatal Frame (Project Zero). Pemain harus beralih dari perspektif orang ketiga saat menjelajah ke perspektif orang pertama saat menghadapi hantu. Ponsel Linda berfungsi sebagai medium untuk melihat dan membasmi entitas gaib.

Tugas pemain bukan hanya mengambil gambar, tetapi membidik dengan tepat saat hantu menampakkan wujudnya, memanfaatkan kilatan cahaya kamera untuk menyakiti atau menghancurkan roh-roh tersebut.

Momen-momen ini menciptakan ketegangan yang luar biasa. Pemain dipaksa untuk berdiri tegak di hadapan horor yang datang, menyusun bidikan sempurna, sementara waktu terasa melambat dan detak jantung Linda (dan pemain) berpacu kencang. Ini adalah gameplay yang intim, membuat pemain benar-benar merasa rentan dan bergantung pada satu-satunya sumber cahaya dan pertahanan yang mereka miliki.

Galeri Horor Nusantara: Daya Tarik Utama

DreadOut Remastered Collection Arrives On PC - GamerBraves

Daya tarik terbesar DreadOut, yang membedakannya dari game horor Barat atau Jepang, adalah penggunaan intensif mitologi hantu Indonesia. DreadOut secara cerdas menghindari klise horor global dan merangkul hantu-hantu yang sudah akrab dan sangat ditakuti oleh masyarakat Indonesia.

  • Pocong: Hantu yang terikat oleh kain kafannya, bergerak melompat-lompat dengan mengerikan.

  • Kuntilanak: Roh wanita hamil yang meninggal, sering dikaitkan dengan lagu daerah Sunda yang melankolis, “Lingsir Wengi.”

  • Genderuwo: Roh jahat berwujud raksasa berbulu.

  • Sundel Bolong: Sosok wanita dengan lubang menganga di punggungnya.

Para hantu ini tidak hanya sekadar jumpscare visual; mereka terintegrasi dengan teka-teki dan gameplay. Misalnya, untuk mengalahkan Sundel Bolong, pemain harus mengarahkan kamera ke lubang di punggungnya—sebuah detail yang spesifik dan mengharuskan pemain memahami kelemahan mitologis entitas tersebut. Penggunaan hantu lokal ini memberikan kedalaman budaya yang otentik dan sensasi horor yang lebih mencekam bagi pemain Indonesia, sambil memperkenalkan keunikan horor Asia Tenggara kepada audiens global.

Atmosfer dan Narasi: Kisah di Balik Ketakutan

DreadOut unggul dalam membangun atmosfer. Lingkungan yang dijelajahi Linda, mulai dari sekolah yang gelap gulita hingga kota tua yang sunyi, terasa padat dengan sejarah dan keputusasaan. Penggunaan pencahayaan yang minim, suara-suara aneh di kejauhan, dan musik yang seringkali berhenti tiba-tiba, bekerja sama untuk menjaga pemain dalam kondisi ketegangan yang konstan.

Cerita dimulai dengan perjalanan karyawisata siswa SMA yang tersesat di kota kosong. Kecelakaan tunggal membuat mereka harus mencari bantuan, dan mereka menemukan sebuah sekolah terbengkalai. Saat teman-teman Linda mulai menghilang dan Linda menemukan bahwa dia adalah satu-satunya yang dapat melihat para arwah, narasi berkembang menjadi kisah tentang kutukan, pengorbanan, dan alam Limbo (dunia antara hidup dan mati).

Linda, sebagai tokoh utama, juga merupakan salah satu kekuatan game ini. Ia bukan seorang pahlawan aksi, melainkan seorang remaja biasa yang dipaksa menghadapi realitas mengerikan. Kerentanannya membuat setiap pertemuan dengan hantu terasa monumental. Perjalanannya untuk mengungkap misteri kota dan menyelamatkan teman-temannya menjadi perjalanan psikologis yang melibatkan trauma masa lalu dan kemampuan clairvoyance yang baru ia sadari.

DreadOut: Warisan Sebuah Karya

DreadOut adalah lebih dari sekadar game horor yang menakutkan; ini adalah bukti nyata potensi industri game Indonesia. Keberhasilannya membuktikan bahwa orisinalitas budaya adalah senjata yang ampuh di pasar global. DreadOut membuka mata dunia terhadap kekayaan mitologi Indonesia dan membuka jalan bagi pengembang game lokal lainnya untuk berani mengangkat tema-tema budaya sendiri.

Game ini akan selalu dikenang sebagai karya yang mendunia—sebuah kisah horor yang berakar kuat pada tradisi Nusantara, yang berhasil membuat gamer di seluruh dunia merasa takut, penasaran, dan kagum. Melalui lensa ponsel Linda, Digital Happiness telah menciptakan warisan horor yang akan terus menghantui dan menginspirasi.

DreadOut 2: Evolusi Horor dan Pertarungan Fisik

Setelah kesuksesan DreadOut pertama yang menekankan pada mekanisme kamera ponsel sebagai alat defensif, Digital Happiness merilis sekuel yang ditunggu-tunggu, DreadOut 2, pada tahun 2020. Sekuel ini bukan sekadar pengulangan formula; ia menghadirkan evolusi signifikan pada gameplay yang menjawab kritik sekaligus memperluas lingkup dunia Linda Meilinda.

Dualitas Gameplay: Ponsel dan Perkelahian Jarak Dekat

Perubahan terbesar dalam DreadOut 2 adalah pengenalan mekanika pertarungan jarak dekat (melee combat). Dalam game pertama, Linda hanya bisa menggunakan kamera untuk ‘melawan’ hantu. DreadOut 2 mempertahankan kamera sebagai alat utama melawan hantu yang lebih kuat atau boss, namun kini, Linda juga dipersenjatai dengan pisau dan senjata tumpul lainnya untuk menghadapi hantu minor atau entitas yang lebih fisik.

Keputusan ini menciptakan dualitas gameplay yang baru:

  • Mode Spiritual: Menggunakan ponsel/kamera untuk menghadapi hantu-hantu yang berbasis roh (seperti Kuntilanak atau Pocong), memerlukan pembidikan yang tepat dan manajemen flash kamera.

  • Mode Fisik: Menggunakan senjata tajam atau tumpul untuk melawan hantu yang memiliki wujud fisik (seperti hantu di sekolah atau beberapa jenis Genderuwo), menawarkan nuansa action yang lebih cepat.

Baca fakta seputar : game

Baca juga artikel menarik tentang : Dont Starve: Game Survival Indie dengan Visual Unik dan Gameplay Brutal

About The Author