Bahaya Kesombongan

Bahaya Kesombongan, karier naik, orang-orang memuji, dan saya merasa—ya, saya lebih baik dari kebanyakan orang. Apapun yang saya kerjakan, berhasil. Apapun yang saya sentuh, jadi emas. Atau setidaknya, begitu saya percaya.

Saya mulai lupa bagaimana rasanya menghargai proses. Saya tidak lagi mendengarkan pendapat orang lain. Saya percaya bahwa keberhasilan saya adalah hasil dari kerja keras saya semata—dan bukan campur tangan siapa pun, apalagi Tuhan.

Dan saat itulah, saya tidak sadar bahwa Bahaya Kesombongan mulai tumbuh diam-diam.

Ketika Segalanya Terasa Sempurna… dan Saya Terlalu Yakin Diri

Bahaya Kesombongan

Kesombongan Itu Halus dan Menyamar

Kesombongan tidak selalu terlihat jelas.

Kadang dia muncul sebagai komentar kecil dalam hati:

  • “Kok dia nggak bisa sih? Gampang begini aja.”

  • “Kalau saya yang ngerjain, pasti lebih bagus.”

  • “Orang lain cuma beruntung. Saya yang benar-benar kerja keras.”

Saya mulai sering membandingkan diri dengan orang lain, bukan untuk belajar… tapi untuk merasa lebih tinggi.

Yang lebih parah, saya mulai menutup telinga terhadap kritik. Karena saya yakin, mereka yang mengkritik cuma iri, bukan tulus.

Sekarang kalau saya ingat masa itu, saya merasa malu. Tapi waktu itu? Saya justru bangga dengan ego saya sendiri.

Titik Balik: Tamparan yang Membuka Mata

Hingga akhirnya, saya mendapat “hadiah” dari semesta.
Sebuah tamparan keras yang meruntuhkan semua kepercayaan diri palsu yang saya bangun.

Proyek besar yang saya pimpin gagal total. Investor mundur. Tim yang saya pimpin kehilangan semangat. Beberapa orang bahkan keluar dan bilang—“Kami merasa tidak dihargai lagi.”

Saya bingung. Saya marah. Saya merasa dunia tidak adil.

Tapi setelah semua itu berlalu, saya duduk sendiri dan mulai mengingat…
Ternyata selama ini, saya terlalu mendewakan diri sendiri. Saya tidak menghargai kontribusi tim, saya tidak mendengar masukan, dan saya lupa bahwa keberhasilan itu selalu hasil kolaborasi.

Dan saat itu, saya sadar: saya dihancurkan oleh Bahaya Kesombongan saya sendiri.

Bahaya Nyata dari Bahaya KesombonganBahaya Kesombongan

Bahaya Kesombongan

Setelah refleksi panjang, saya menyimpulkan bahwa Bahaya Kesombongan adalah racun paling halus yang bisa menghancurkan hidup secara perlahan.

Berikut dampak yang saya alami langsung:

  1. Hubungan Sosial Retak
    Orang-orang menjauh bukan karena iri, tapi karena merasa tidak dihargai. Teman berubah jadi orang yang hanya sekadar “kenal.”

  2. Pertumbuhan Pribadi Terhenti
    Karena terlalu yakin diri sendiri benar, saya berhenti belajar. Dan itu stagnan banget.

  3. Mental Tidak Sehat
    Saat jatuh, saya tidak siap. Karena sebelumnya terlalu tinggi. Sombong itu bikin mental rapuh.

  4. Rasa Syukur Hilang
    Bahaya Kesombongan menutup rasa syukur. Segalanya terasa biasa, bahkan saat hal baik terjadi.

  5. Rendahnya Empati
    Saya jadi sulit memahami kesulitan orang lain. Terlalu fokus pada pencapaian pribadi.

Kenapa Kesombongan Bisa Terjadi?

Saya percaya, tidak ada orang yang lahir sombong. Tapi hidup modern memberi banyak celah:

  • Sosial media: tempat ideal untuk pamer pencapaian tanpa menunjukkan proses.

  • Budaya kompetisi: seolah kita harus jadi yang terbaik, setiap waktu.

  • Pengakuan eksternal: kita mulai menilai diri dari berapa banyak “likes”, pujian, dan validasi.

Saya mengalami semua itu. Dan perlahan, itu membentuk ego yang besar—yang saya kira adalah kepercayaan diri. Padahal itu ilusi.

Proses Kembali ke Kerendahan Hati

Bahaya Kesombongan

Saya tahu, menyadari diri sombong itu menyakitkan. Tapi yang lebih penting adalah apa yang dilakukan setelahnya dikutip dari lama resmi Muslim.or.id.

Berikut hal-hal yang saya lakukan untuk kembali ke jalur yang benar:

  1. Minta Maaf dan Akui Kesalahan
    Saya hubungi orang-orang yang pernah saya abaikan. Beberapa membalas dengan hangat. Beberapa tidak. Tapi setidaknya saya mencoba.

  2. Mulai Mendengarkan Lagi
    Saya buka telinga dan hati. Masukan dari orang lain bukan ancaman, tapi cermin untuk tumbuh.

  3. Bersyukur atas hal kecil
    Saya belajar menikmati hal-hal sederhana: kopi pagi, tawa anak kecil, senyum teman.

  4. Belajar dari kesalahan orang lain
    Daripada menghakimi, saya mulai bertanya: “Apa yang bisa saya pelajari dari kisah mereka?”

  5. Terus ingat siapa saya tanpa pencapaian
    Saya bukan jabatan, bukan gelar, bukan pengikut. Saya manusia biasa yang masih belajar.

Refleksi: Jangan Bangga dengan Diri Sendiri yang Salah

Saya dulu bangga karena tidak pernah minta tolong.
Bangga bisa menyelesaikan semua sendiri.
Bangga tidak pernah menangis.

Tapi sekarang saya tahu, bangga itu bukan pada kesempurnaan, tapi pada keberanian untuk mengakui kekurangan.

Bahaya Kesombongan menutup mata dari kebenaran.
Kerendahan hati membuka jalan menuju pertumbuhan.

Penutup: Kamu Tidak Sendirian, Tapi Kamu Harus Sadar

Kalau kamu membaca ini dan merasa relate, mungkin kamu juga sedang terjebak di tempat yang sama.

Saya tidak menulis ini untuk menggurui.
Saya menulis karena saya pernah ada di sana.

Saya tahu rasanya merasa hebat… lalu jatuh.
Saya tahu rasanya malu… lalu berubah.

Dan saya ingin kamu tahu: Bahaya Kesombongan bisa dilawan.

Mulailah dari satu hal kecil.
Dengarkan lebih banyak.
Bersyukurlah lebih sering.
Dan jangan takut mengakui bahwa kamu pernah salah.

Karena orang yang rendah hati bukan orang yang tidak pernah salah,
tapi orang yang tidak membiarkan kesalahan membentuk siapa dirinya.

Baca Juga Artikel dari: Produk UMKM: Cerita Dari Dapur Sempit ke Pasar Digital

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Information

About The Author