
Table of Contents
Kalau ada yang nanya penyakit apa yang paling bikin saya merinding cuma dengar namanya, salah satunya pasti kanker lidah.
Pertama kali saya dengar istilah ini bukan dari berita atau internet, tapi dari tetangga lama saya—Pak Arman—yang tiba-tiba sering terlihat duduk di teras sambil memegang pipi kirinya. Awalnya saya pikir cuma sakit gigi atau sariawan biasa. Ternyata, waktu ngobrol santai, dia bilang pelan, “Lidah saya kena kanker.”
Sejujurnya, itu momen yang bikin saya mikir, “Lidah? Kok bisa kena Health kanker?!” Selama ini kalau dengar kata kanker, pikiran saya langsung ke paru-paru, payudara, atau kulit. Tapi lidah? Baru kali itu saya bener-bener nyadar kalau bagian kecil di mulut itu bisa jadi tempat penyakit mematikan.
Apa Itu Kanker Lidah?

Sederhananya, kanker lidah adalah pertumbuhan sel abnormal di jaringan lidah yang nggak terkendali. Sel-sel ini bisa membentuk tumor yang, kalau nggak diobati, bisa menyebar ke bagian mulut lain bahkan ke tenggorokan dan kelenjar getah bening. Secara medis, sebagian besar kanker lidah termasuk dalam kategori karsinoma sel skuamosa—ini tipe sel yang memang banyak ada di permukaan lidah Alodokter.
Saya sempat baca di jurnal kesehatan, bahwa kanker lidah biasanya dibagi dua lokasi utama:
Kanker lidah bagian depan – yang terlihat di mulut saat menjulurkan lidah. Ini sering lebih cepat terdeteksi karena bisa dilihat langsung.
Kanker lidah bagian pangkal – ini yang lebih licik. Ada di dekat tenggorokan, sulit dilihat, dan gejalanya sering baru terasa saat sudah parah.
Apakah Kanker Lidah Berbahaya?
Jawabannya singkat: Ya, sangat berbahaya.
Bukan cuma soal nyeri atau susah makan, tapi karena lokasinya yang dekat saluran pernapasan dan pencernaan. Kalau sudah stadium lanjut, kanker lidah bisa:
Menyebar ke tenggorokan dan kelenjar leher.
Mengganggu kemampuan bicara.
Membuat penderitanya sulit makan dan minum.
Mengancam nyawa dalam waktu relatif cepat kalau nggak diobati.
Saya masih ingat kata dokter yang menangani Pak Arman, “Kanker di mulut itu nggak main-main. Sedikit telat, selnya bisa jalan ke organ lain.”
Itu juga yang bikin penyakit ini sering ditakuti—karena perkembangannya bisa cepat banget.
Mengapa Kanker Lidah Sangat Ditakuti?
Ada beberapa alasan kenapa orang takut sama penyakit ini, dan menurut saya semua masuk akal:
Sulit Dideteksi Dini
Gejalanya mirip banget sama sariawan biasa—luka kecil di lidah yang nggak sembuh-sembuh. Banyak orang baru ke dokter setelah berbulan-bulan.Proses Pengobatannya Nggak Gampang
Kadang harus operasi, radioterapi, atau kemoterapi. Semua ini melelahkan, baik secara fisik maupun mental.Efeknya ke Kualitas Hidup
Setelah operasi, ada yang kesulitan berbicara atau mengecap rasa. Bayangin nggak bisa lagi menikmati makanan favorit?Risiko Kambuh Tinggi
Meskipun sudah diobati, kalau nggak dijaga gaya hidupnya, risiko kanker lidah muncul lagi cukup besar.
Saya pribadi merasa kanker lidah ini “diam-diam menghanyutkan”. Nggak banyak yang tahu gejala awalnya, tapi begitu ketahuan, seringnya sudah di tahap serius.
Gejala Awal Kanker Lidah

Ini bagian yang menurut saya paling penting untuk kita tahu. Dari pengalaman ngobrol sama Pak Arman dan baca berbagai referensi, gejala awal kanker lidah antara lain:
Luka di lidah yang nggak sembuh-sembuh meski sudah lebih dari 2 minggu.
Rasa nyeri di lidah atau saat menelan.
Ada bercak merah atau putih di lidah.
Lidah terasa kaku atau tebal di satu sisi.
Pendarahan kecil di lidah tanpa sebab jelas.
Bau mulut yang nggak hilang-hilang.
Masalahnya, banyak orang mikir, “Ah, cuma sariawan.” Padahal kalau lebih dari 2 minggu dan nggak membaik, sebaiknya langsung periksa ke dokter gigi atau THT.
Perawatan Medis Kanker Lidah
Nah, ini bagian yang sering jadi dilema. Perawatan kanker lidah biasanya tergantung pada stadium saat ditemukan. Beberapa metode yang umum digunakan:
Operasi – untuk mengangkat bagian lidah yang terkena kanker. Kadang cuma sebagian kecil, kadang cukup besar.
Radioterapi – menggunakan sinar radiasi untuk membunuh sel kanker. Biasanya dilakukan setelah operasi atau sebagai pengganti jika operasi nggak memungkinkan.
Kemoterapi – obat-obatan khusus untuk menghentikan pertumbuhan sel kanker. Sering dikombinasikan dengan radioterapi.
Rehabilitasi Bicara & Menelan – ini penting banget untuk mengembalikan fungsi setelah operasi.
Dari cerita Pak Arman, masa pengobatan itu bukan cuma soal fisik yang drop, tapi mental juga diuji habis-habisan. Dia cerita kalau setiap kali mau radioterapi, rasa takutnya kayak mau ujian kelulusan hidup.
Saya masih ingat betul wajah Pak Arman waktu pertama kali keluar dari ruang dokter dengan membawa hasil biopsi. Dia pegang amplop putih itu erat-erat, kayak orang yang baru dikasih surat penting tapi berat dibaca. “Positif kanker lidah, Mas,” katanya pelan sambil menelan ludah. Saya bisa lihat bibirnya gemetar.
Hari-hari setelah itu, hidupnya berubah total. Dulu dia tipe orang yang santai, suka nongkrong sambil ngopi hitam panas di warung ujung jalan. Sekarang, kopi itu cuma bisa dia lihat, nggak bisa diminum. Bukan karena nggak mau, tapi karena panas dan pahitnya bikin lidahnya nyeri luar biasa.
Tahap pertama yang dia jalani adalah operasi. Dokter bilang, sel kankernya masih terbatas di bagian depan lidah, jadi mereka potong sebagian. Waktu dengar kata “potong lidah”, saya aja yang bukan pasien ikut merinding. Setelah operasi, bicaranya jadi agak pelan dan cadel. Tapi dia tetap berusaha ngobrol, walau kadang cuma lewat tulisan di HP kalau capek ngomong.
Tahap kedua adalah radioterapi. Nah, ini yang katanya benar-benar menguras tenaga. Setiap hari harus bolak-balik rumah sakit. Efeknya? Mulut kering, rasa logam yang aneh di lidah, dan luka-luka kecil di mulut yang bikin makan hampir mustahil. Katanya, bubur pun rasanya kayak makan pasir.
Tahap ketiga adalah rehabilitasi. Setelah semua perawatan selesai, giliran belajar bicara dan menelan lagi. Ada terapis khusus yang ngajarin gerakan lidah, latihan pernapasan, dan cara mengunyah dengan efisien. Bayangin, hal yang selama ini kita lakukan otomatis—ngunyah, menelan, ngomong—tiba-tiba harus dipelajari ulang dari nol. Berat banget, tapi dia nggak nyerah.
Adaptasi Hidup Setelah Kanker Lidah
Banyak orang kira, setelah pengobatan selesai, masalahnya beres. Padahal, justru di sinilah perjuangan panjang dimulai.
Saya sempat dampingi Pak Arman saat dia mencoba makan bakso untuk pertama kalinya setelah operasi. Seporsi bakso yang biasanya habis dalam 10 menit, kali ini butuh 45 menit. Bukan cuma karena susah mengunyah, tapi juga rasa yang udah nggak sama.
Dia cerita kalau setelah lidahnya dipotong sebagian, beberapa rasa hilang. Manis masih kerasa, tapi asin dan pahit kadang samar. Tekstur makanan juga jadi lebih penting daripada rasanya. Makanan yang terlalu keras atau terlalu berserat sering dia hindari.
Selain itu, dia harus hati-hati banget soal kebersihan mulut. Sisa makanan gampang nyelip di bekas luka operasi, dan itu bisa jadi sumber infeksi. Jadi, setelah makan, dia rutin berkumur dengan larutan antiseptik yang diresepkan dokter.
Yang paling saya kagumi, dia mulai ubah gaya hidup total:
Berhenti merokok setelah 20 tahun jadi perokok berat.
Stop minum alkohol.
Lebih banyak makan buah dan sayur segar.
Rutin kontrol ke dokter 3 bulan sekali.
Dampak Emosional dan Mental
Kanker lidah bukan cuma menggerogoti fisik, tapi juga mental. Saya sempat lihat sendiri, ada hari-hari ketika Pak Arman nggak mau keluar rumah sama sekali. Dia minder karena cara bicaranya berubah, dan takut orang nggak ngerti apa yang dia omongin.
Waktu itu saya bilang ke dia, “Kalau orang nggak ngerti, bukan salah kamu. Mereka cuma belum terbiasa.”
Pelan-pelan, dia mulai mau ikut kumpul lagi, meskipun nggak banyak bicara. Kadang malah bercanda, “Kalau ngomong nggak jelas, anggap aja ini bahasa alien.”
Menurut saya, dukungan sosial itu krusial. Teman dan keluarga yang mau sabar dengerin, nggak ngejek, dan tetap ngajak ngobrol—itu bikin semangat hidup naik.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Kanker Kulit: Satu Titik pengalaman di Kulit yang Mengubah Hidup Saya disini








